Friday, April 5, 2019

Fighting a new battle

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat malam.
Hi, good people.
Sudah beberapa bulan ini nggak nulis di blog. Singkat cerita saya lagi siap-siap pindah. Pindah kerja, kerjaannya sih sama masih jadi guru tapi feel-nya beda. Kenapa beda? Kalau sebelum ini saya ngajarnya di SMK dari pagi sampai siang trs beberapa sore ngajar di kampus, kali ini saya pindah ngajar di SMP. Yup, Sekolah Menengah Pertama. Menariknya sekolahnya bukan sekolah elit di kota, bukan juga sekolah favorit dengan segudang prestasi. Sekolah baru tempat saya mengajar ada di desa di kota sebelah (that's why I need to move out of town). Nama sekolahnya SMPN Satap 3 Hanau, ikut di kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Bagi temen-temen saya yang orang kota yang mungkin nggak tau, SMP Satap itu singkatan dari SMP Satu Atap, kenapa satu atap? gedungnya jadi satu wilayah dengan SD. Biasanya yang namanya Satap ini letaknya masih di desa, kelas dari masing-masing tingkatan pun hanya satu. Kalau di kota satu kelas bisa sampai 30 siswa atau lebih, di Satap ini siswanya lebih sedikit. Di SMP tempat saya ini siswanya ada 18, dan siswa SD nya 48. Ups, dikit ya? Iya. Yakin ngajar disini? Yakin aja.
Pertama sih agak ragu, gimana nanti. Tp kemarin, hari pertama saya ke sekolah saya langsung jatuh cinta aja sama anak-anaknya. Mereka semangat aja belajar. Nanti masalah sekolah ini akan saya tuliskan lebih lanjut di tulisan saya selanjutnya, minggu depan kalau saya sudah pulang kampung ke Sampit. Kenapa? Di tempat yg baru sinyal internet belum ada, bisanya teleponan doang. Tapi syukur alhamdulillah masih bisa teleponan.

Itulah penampakan "dermaga"belakang rumah dinas saya. Ceilehhh dermaga soalnya saya bingung istilahnya apa, kalau orang sini sih bilangnya "batang", ini tempat longboat atau perahu berhenti, tempat dipakai nyuci dll. Nama desanya adalah Desa Paring Raya, Hanau. Untuk ke desa butuh waktu dua jam naik mobil dengan kecepatan standar 80km/jam dari Sampit. Setelah itu saya masih harus menyeberang lagi naik longboat selama kurang lebih 30 menit untuk sampai ke desa dari dermaga di Hanau. Eits jangan dibayangkan itu menyeramkan, perjalanan air ini cukup menyenangkan, sepanjang jalan saya masih bisa melihat monyet gelantungan di pohon-pohon dipinggir sungai. Sesuatu yang saya nggak lihat di kampung saya di Jawa. Nahh di "batang" yang ada di foto itulah saya turun dari longboat. Biayanya cukup murah, dua puluh ribu saja kalau tidak pakai tiket dari dermaga, tiga puluh ribu kalau pake tiket. Lain kali akan saya foto longboatnya, kemarin nggak sempat.

Hari Rabu kemarin adalah kali pertama saya kesana naik longboat, dua bulan lalu saya ke desa saya pilih jalan yg nyeberang sungainya dekat aja, kemarin kebetulan ada guide nya dan udah ketinggalan longboat. Loh kok bisa? Yup, longboat nya dalam sehari hanya satu kali pulang pergi. Pagi sekitar jam 7.30 kalau mau ke desa dan aore sekitar jam 3 kalau mau ke kota. Tapi ada alternatif lain kalau situasi mendesak, kita bisa pakai perahu kecil milik warga desa.

Beberapa kemudahan saya dapatkan, beberapa bantuan datang tanpa saya minta. Alhamdulillahirabbil aalamiin.
Pertama waktu nunggu longboat di dermaga, saya ketemu bapak pengawas SD di desa saya yang kebetulan adalah teman sekolah mama mertua saya. Kepala Sekolah saya juga ada disana. Ketika sudah naik longboat, ternyata yang duduk di belakang saya adalah pak RT dan istrinya dan beliaulah yang membantu mengangkat barang-barang saya ke rumah dinas. Allah masih memberi saya kemudahan, sesampainya dirumah, anak-anak desa yang sekolah SMP datang kerumah dan merekalah yang bersih-bersih rumah. Ada teman guru dan salah satu penduduk desa yang kerja di kantor desa yang nyediain minuman. Bukannya saya pelit, saya baru datang dan belum bongkar-bongkar bawaan, saya juga orang baru nggak tau dimana letak warung buat beli es untuk mereka. Bantuan lain datang menjelang sore, pak sekdes datang melihat PLTS dirumah, apa lampunya bisa nyala. Beliau juga yang ngecek aki dan segala macamnya, karena saya ini apalah, nggak berilmu dalam perlistrikan tenaga surya.
keesokan harinya, ada bapak "pembekal" atau dulunya kepala desa datang kerumah, berterimakasih sudah mau datamg ke desa menjadi guru. Beliau cerita, di desa kasian anak-anak nggak ada gurunya, sering libur karena guru SD nya cuma ada 1. Bayangkan aja, 6 kelas dengan satu guru. Rasa menetes airmata ini di hati, malu sih mau nangis di depan beliau. Sedangkan di kota, guru-guru sampai pusing karena kekurangan jam, banyak gurunya. Nggak cuma itu, anak-anak juga yang pagi-pagi sudah rela masuk dalam tandon dan menyikatnya sampai cling. Tetangga sebelah juga yang ngisikan tandon airnya dari sumur beliau supaya saya tidak susah harus mandi di sungai. Sungguh,saya terharu. Saya bahkan bukan orang yang selalu baik dengan orang, saya sering ngomel2 tapi Allah masih memberikan banyak kemudahan. Fabi ayyi aalaa irabbikumaa tukadzdzibaan..
Nih senja dibelakang rumah, cantik kan? It's beautiful life,watching that sunset with my lovely husband. Apalagi kalau ada backsoundnya lagunya Via Vallen "pikir keri"; hahaha...salah ya. Nggak cocok.

Ini nih mungkin cocok kalau sambil dengerin lagu Koes Plus
"...bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala bisa menghidupimu.."
Itu anak sama mamanya lagi ngambilin ikan. Enak kan?
Ikan melimpah dibelakang rumah, nggak usah beli. Pagi mau ngajar pasang pancing, siang pulang ngajar bisa langsung nggoreng ikan, makan pakai sambal. Mantap.

Mungkin awalnya nggak akan mudah karena jujur saya sendiri sudah biasa hidup di kota, biasa listrik terang benderang, internet lancar, mau makan apa bisa beli. Tapi inilah fase hidup yang baru. Mungkin saya akan lebih bermanfaat ditempat ini,di kota mah sudah banyak yang mau ngajarin,sudah banyak guru-guru pintar. Saya ini apalah cuma rerontokan aja. Tapi melihat binar di mata anak-anak di desa kemarin, saya harus memompa semangat lebih dalam diri saya. Kalau sesuai SK saya sih ngajar Bahasa Inggris SMP, tapi anak-anak SD kemarin dengan antusiasnya nanya "bu, boleh lah ulun (saya) belajar di rumah ibu?"
"Bu, bisalah belajar mengaji diwadah (dirumah) pian?"
Yup, boleh aja. Selama ibu ada dirumah, datang aja. Bawa aja kalau ada buku mengaji dan buku lainnya. Benar kata bapak kepala dinas kemarin, guru kalau di desa dikira serba bisa. Kalau ngajarin ngaji saya masih bisa aja pak, kalau disuruh nyanyi di acara nikahan warga saya nyerah.

Mudah-mudahan Allah menjaga anak saya juga. Bismillahirrahmanirrahim, let's fight a new battle my beter half and my only sunshine. Suami saya pun bilang "abang jatuh cinta dengan desanya"..ehemmmm... boleh nggak saya Ge-eR jatuh cintanya karena ada saya di desa? Hahaha...


No comments:

Post a Comment

Koneksi Antar Materi Modul 3.1 Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan Sebagai Pemimpin

Salam Guru Penggerak. “Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik”   ( Teach...