Thursday, January 31, 2019

Gurunya baper atau siswanya yang bertingkah

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu'alaiku warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat malam.

Saya mulai ngajar tahun 2012, pada waktu itu setelah melalui empat tingkatan tes akhirnya saya bisa bergabung di Lembaga Bahasa Universitas Muhammadiyah Malang. Tiga tahun saya mengabdi disana. Menghadapi berbagai macam tipe mahasiswa. Waktu itu saya masih single (belum menikah bukan belum ada calon 😀😀😀). Selisih umur masih dikit aja dengan mahasiswa, the class was fun and I enjoyed my teaching carier back then. Tipe mahasiswa macam-macam dong, yang sweet sampai bikin dosennya kena gejala diabet, ada. Yang cuek nggak ketulungan, ada. Yang pinter dan populer, ada. Yang ndugal, ada. Perlakuan saya ke mereka? Beda. 

Sejak menikah pada akhir tahun 2015, saya pindah ke Kalimantan. Menikmati dirumah sebentar dan mulai ngajar lagi di UNDA tahun 2016. Kondisi kali ini berbeda, kebetulan saya ngajar kelas malam. Tapi mahasiswa dimana-mana tetap sama, macam-macam tipenya. 

Awal tahun 2017 saya mulai ngajar juga di salah satu SMK Negeri di kota ini. Pengalaman pertama. Empat tahun cuma dikelas dengan mahasiswa, dikelas dengan siswa rupanya jauh berbeda. Saya sih sudah memprediksi bahwa jadi guru butuh lebih banyak stok sabar. Tapi benar-benar beyond my expectation karena ternyata SMK lebih seru-seru sedap daripada SMA (dulu saya PPL nya di SMA, jadi tau sedikit lah). Selain sabar, jadi guru menurut saya harus lebih pintar. Kenapa? Kalau ngajar mahasiswa, mereka sudah lebih matang dan bisa menggunakan lebih banyak nalar mereka sehingga dosennya seringkali tidak harus menjelaskan banyak. Tugas. Quiz. Paper. Deadline. Nilai keluar, meskipun nggak lulus ya rektornya nggak protes, kaprodinya ok aja asal memang ada buktinya. Di sekolah, mau ngasih tugas, harus njelasin panjang sepanjang jalan kenangan, udah gitu pas udah dikasih tugas, besoknya on the due date banyak yang lupa. Alasannya macam-macam, banyak tugas lah, mati listrik lah, nggak bisa lah, minggu kemarin nggak masuk lah. Pokok e alasan e sak kresek kalau kata orang jawa. 

Itu sih sebagian kecil sisi akademik nya, dari segi sikap pun beda. Di sekolah jadi wali kelas, wowww...emejing. Daebak!! Hari-hari berlalu dengan panggilan-panggilan. Belum lagi keluar masuk kantor kepala sekolah. Nggadem. Di kantor kepsek aja yang berAC. hahaha. Enggak ya, mendampingi anak buah yang bermasalah. 

Lalu apakah perlakuan saya sama kepada semua siswa? Tidak. Itu jawaban jujur saya. Saya yang kurang ilmu ini cenderung condong pada siswa-siswa baik, atau yang terlihat baik dimata saya. Saya bilang "terlihat" karena setelah beberapa kejadian razia di sekolah dan lain sebagainya beberapa siswa baik itu ternyata sikapnya kurang baik. Kecewa dong saya. Padahal kita memang sudah dilarang berharap pada sesama manusia supaya tidak kecewa karena bagaimana bisa kita kecewa kalau tidak berharap. 

Setelah saya renungkan kembali, saya cenderung bersikap berbeda kepada beberapa siswa tersebut. Dan beberapa hari ini saya berpikir, harusnya seorang guru bersikap sama pada setiap siswa bagaimanapun siswa tersebut telah mengecewakan. Am i wrong? Bukan bersifat subjektif, tapi apalah saya ini...Apakah adil kalau siswa-siswa yang bermasalah itu akhirnya kita kurang perhatikan karena sudah males audah capek sudah bosan dengan kelakuannya? Jadi apakah gurunya yang baperan atau siswanya memang bertingkah diluar nalar? Sedangkan konsep adil sendiri kan nggak harus sama.
Mungkin dengan kasih sayang dan kelapangan hati gurunya, siswa-siswa tersebut bisa kembali baik. Tapi apakah mudah? Let's see. I'm trying my best. 

-curhatan sambil nunggu mahasiswa yang lagi lomba nulis vocabularies-

No comments:

Post a Comment

Koneksi Antar Materi Modul 3.1 Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan Sebagai Pemimpin

Salam Guru Penggerak. “Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik”   ( Teach...