Friday, June 21, 2019

Women, let's survive!

Hi, selamat malam sabtu.
Weekend. Fix.

Kenapa judulnya women, let's survive? Karena saya nggak merasakan jadi laki-laki.

Kalau di Jawa ada yang pernah dengar "wong wadon kuwi ra adoh-adoh teko masak, macak, manak" atau ada yang masih denger kata "ngapain sekolah tinggi-tinggi toh nantinya di dapur juga." Well harusnya sih sekarang udah nggak musim ya pemikiran itu.  Kenapa saya bilang let's survive! Bertahan hidup bukan masalah saat kita tersesat dihutan saja. Ditengah hiruk pikuk kehidupan kota-pun kita harus survive. Survive yang gimana sih? Gimana caranya?

Karena kita hidup, saat-saat sulit itu pasti ada. PASTI. Entah saat masih remaja, single atau saat sudah menikah, double, triple dan seterusnya. Tapi menurut saya kemampuan seseorang untuk survive tidak bisa hadir begitu saja. Semua butuh proses, ada yang harus dipelajari disana. Dan untuk ini saya berterimakasih sekali pada ibu saya, jika bukan karena didikan beliau mungkin saya sudah nangis minta pulang pas dapat tempat dinas yang disana nggak ada listrik, sulit sinyal, transportasi sulit, dan semua kerjaan rumah harus manual.

Penting bagi kita, wanita untuk bisa mengerjakan segala sesuatu secara manual meskipun penting juga kita bisa memakai alat yang modern. Sama kaya kita harus bisa jadi sederhana tapi nggak malu-maluin pas dibawa ke kondangan.  Sama kaya kita harus bisa kalau miskin tapi nggak katrok kalau kaya. ☺☺☺
Dan peran penting dipegang oleh wanita, ibu. Siapa sih yang nggak sayang anaknya? Tapi sayang bukan berarti menyediakan segala sesuatunya dan tidak mengajarkan apapun. Jika itu yang anda lakukan sebagai ibu, nanti bagaimana kalau anak kita harus seorang diri? Iya kalau seorang diri tapi kaya berduit bisa aja nyuruh orang ini itu, beli ini itu. Kalau seorang diri, nggak bersuit, nggak punya skill, nggak tau apa-apa dan nggak cantik pula. Tamat. 😂😂😂

Apa cuma berlaku untuk wanita, gadis, perempuan, awewe, wong wadon, binian aja? Nope. Berlaku juga untuk laki-laki. Nggak peduli dia itu ganteng atau jelek, kaya atau miskin. Skill dasar bertahan hidup harus ada. Kasian kan kalau laki-laki nggak tau apapun soal rumah, kasian istrinya nanti. Iya, surga istri memang ada di suami, istri memang wajib melayani suami tapi istri bukan pembantu juga kan? 😊😊😊

Tapi kalau pengalaman saya sih, survive bukan cuma masalah fisik tapi juga hati. Dari hati itu semua berawal. Kalau hati kita sudah fix, bertahan, no matter what happen, maka tingkah laku akan mengikuti. Jadi yang namanya hati ini, harus kuat. Harus. Kuat patah, kuat jatuh, kuat malu, kuat. Gimana jadinya rumah kalau ibunya nggak punya jiwa survival, dikit2 ambruk, dikit2 kabur, dikit-dikit?
Gimana jadinya anak kalau ibunya nggak kuat? Anak udah SMP udah tau pacaran disuruh nggak mau, ibunya diem aja ngerjains emua sendiri. Gimana jadinya anak kalau ibunya meng-iyakan aja semua yang dikatakan anaknya meskipun it doesn't make sense. Gimana jadinya anak kalau ibunya nggak kuat ngajarin anaknya kapan harus berterimakasih, kapan harus minta maaf dan kapan harus bertanggung jawab. Gimana jadinya anak kalau ibunya cuma ngasih uang, uang dan uang? Tapi apa semua lalu salah ibu? Anaknya gimana?

Suatu saat, entah itu laki-laki atau perempuan akan menikah. Akan menjadi menantu dirumah orang. Dan kebiasaan yang sudah mendarah daging bukanlah hal yang mudah dirubah. Tapi dimanapun kita, kemampuan bertahan itu penting. Biar apa? Biar sehat jiwa raga dong. Supaya bisa survive, kita butuh jadi pintar. Supaya bisa pintar dan berpengetahuan luas kita perlu belajar. Kadang semua peristiwa yang kita alami, itulah jalan untuk kita belajar.

Dan tulisan ini bisa ada, sebagai sarana untuk survive juga. 😁😁😁

Stay strong.

Koneksi Antar Materi Modul 3.1 Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan Sebagai Pemimpin

Salam Guru Penggerak. “Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik”   ( Teach...