Friday, November 29, 2019

Gen Z dikampung masihkan jadi gen Z?

Bismillahirrahmanirrahim...

Good morning.. 😊

Lama nggak nulis di blog. Nglemasin jari dulu buat ngetik biar nggak cuma wa an aja. πŸ˜‚

Kali ini masih mau nulis tentang anak sekolah. Anak kelahiran tahun 95an yang katanya generazi Z atau gen Z yang berdasarkan beberapa definisi ahli bisa disimpulkan bahwa anak gen Z from the earlieast young age sudah familiar dengan internet.

Selama delapan tahun perjalanan karir saya menjadi pendidik, saya sudah pernah merasakan mendidik anak kota di universitas sampai sekarang dapat kesempatan mendidik anak desa di desa. Dulu tahun 2012 awal saya ngajar di kota, mahasiswanya amazing semua. Mereka pada mahir menggunakan teknologi. Saya yang harus belajar banyak demi mengimbangi mereka di kelas.

Tapi hari ini saya tidak mau membahas tentang mahasiswa, cukup membahas siswa "gen Z" saya yang ada di kampung. Bagi yang sudah baca tulisan-tulisan sebelumnya di blog saya pasti, sudah tahu sekarang saya mengabdi di desa. Listrik kami masih menggunakan panel surya, kalau sinyal jangan tanya. Γ‘yari sinyal lebih susah daripada move up dari mantan. πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Lalu apa kabar gen Z kami?


Nah, itu kabar gen Z di kampung. Di saat gen Z di kota main gadget saat jam kosong atau istirahat, mereka malah main itu. Kalau di tempat asal saya sih namanya main "benthek" tapi anak-anak disini nyebutnya main "kelele". Terkadang mereka masih main lompat tali padahal sudah SMP. Dulu saya waktu SMP sudah nggak main gituan, mama malah nyuruh dirumah aja. Panas! Hasilnya bisa dilihat, saya nggak jago main apa-apa.

Gen Z di kampung kami, entah masih bisa di sebut gen Z atau tidak. Mereka tidak terlalu familiar dengan teknologi. Kebanyakan mereka memang punya HP android, terkadang mereka juga rela membayar sejumlah uang untuk wifi. Tapi sejauh yang saya amati, mereka hanya menggunakan akses internet itu untuk chat via wa, main FB, atau dengerin lagu di youtube. Sebatas itu.

Lalu apa kabar Ppt, prezi dll? Apa kabar google drive, cloud dll? Gimana dengan blog, akses jurnal, sumber belajar online lainnya? Mereka tertawa aja. Nggak paham. Salah siapa?

Tidak ada yang bisa disalahkan sih menurut saya. Faktor penghambatnya banyak.

Sekolah kami baru dapat bantuan wifi dari kominfo, tapi di sekolah kami belum ada PLTS. Kami bisa menghidupkan wifi cuma kalau genset kami hidupkan. Itupun tidak nonstop. Dan mereka juga harus belajar di kelas sehingga susah cari waktu untuk mendampingi mereka supaya benar bisa menggunakan teknologi untuk pengembangan diri.

Setidaknya sekarang peluang mereka sedikit lebih terbuka untuk melek pada sumber belajar online. Sementara sambil mengusahakan fasilitas pendukung lainnya.

Meski begitu selalu ada sisi baik dari setiap hal jika kita menyikapinya positif, gen Z di kampung kami masih melakukan hal positif. Paling tidak dengan kegiatan outdoor dan permainan tang mereka lakukan, bisa tumbuh jasmani yang kuat dan rasa kerjasama yang baik.

Semoga fasilitas yang di dapatkan oleh gen Z dikota bisa segera kalian dapatkan.

-happy saturday-

Koneksi Antar Materi Modul 3.1 Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan Sebagai Pemimpin

Salam Guru Penggerak. “Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik”   ( Teach...