Salam Guru
Penggerak.
“Kreativitas
adalah tentang membuat hubungan antara satu hal dengan hal lainnya. Ketika Anda
bertanya pada orang-orang kreatif bagaimana mereka melakukan sesuatu, yang
mereka lakukan adalah melihat hubungan antara berbagai pengalaman dan
merumuskan hal baru.”
–
Steve Jobs –
Merupakan
pengalaman yang luar biasa bagi saya ketika belajar tentang coaching pada modul
2.3. Bagaimana tidak, dulu saya berpikir bahwa coaching selalu berakhir dengan
peningkatan kinerja atau dengan mendapatkan solusi dari
permasalahan-permasalahan yang ada. Akan tetapi setelah belajar coaching pada
eksplorasi konsep, diskusi dengan rekan CGP, dan juga elaborasi pemahaman
dengan Pak Jacob Win selaku instruktur coaching untuk supervise akademik,
saya mendapatkan pengetahuan baru bahwa coaching adalah kegiatan dimana coach
dan coachee berbicara untuk
menguraikan permasalahan coachee. Dan dalam prosesnya posisi coach dan
coachee adalah setara karena salah satu prinsip coaching adalah
kemitraan. Coaching fokus pada tujuan bukan pada permasalahan.
Paradigma berpikir coaching adalah fokus pada coachee/rekan yang akan dikembangkan, bersikap terbuka dan ingin tahu, memiliki kesadaran diri yang kuat, mampu melihat peluang baru dan masa depan.
![]() |
praktik coaching dengan skenario observer, coach, dan coachee |
Saya memang sudah sering mendengarkan kata coaching tapi sering mendengar bukan berarti memahami.
Ada tiga kompetensi inti dalam coaching yaitu kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot.
Ketika membacanya saja
saya sudah merasa ini akan lumayan sulit, dan ketika di praktikkan ternyata lebih
sulit lagi. Dalam proses praktik yang pertama dengan rekan CGP di gmeet itu
rasanya seperti “Oke aku akan coba yang terbaik versi aku.”. Sedangkan di praktik
yang kedua, yang dilihat teman-teman sekelas dan fasilitator, perasaannya beda.
“Aku bisa nggak ya?” “Nanti sesuai nggak ya?” “Eh, teman-teman ini biasanya
pada jago nih”. Pikiran-pikiran itu berputar-putar seakan malah menciutkan
nyali sendiri. Dan benar pada saat praktik coaching masih ada yang kelewatan
meskipun saya berusaha sebaik mungkin. Dalam proses ini saya menyadari kesalahan
saya dimana sehingga ada hal yang terlewat tersebut. Saya terlalu sibuk
mengejar coachee dengan pertanyaan berbobot sehingga saya lupa menandai
dalam catatan saya mana yang belum saya tanyakan. Padahal dalam catatan saya,
sudah tertulis garis besar pertanyaan yang tidak boleh terlewatkan seperti “tujuan
coaching hari ini?”, “hambatannya apa?”, “potensi yang bisa digunakan
apa?”, “kapan rencana tersbeut di lakukan?”, “mulai kapan?”, “siapa yang
bertanggung jawab?”, “apa yang akan dilakukan jika tidak berhasil?” dll.
Setelah proses belajar modul 2.3 sampai kegiatan elaborasi konsep saya semakin
yakin bahwa keterampilan coaching ini tidaklah di dapat secara instan, keterampilan
akan meningkat seiring banyaknya jam terbang.
Kegiatan
bersama yang terakhir dalam setiap modul adalah kegiatan elaborasi materi. Dalam
elaborasi materi dengan instruktur ini saya juga mendapatkan hal yang baru. Ketika
kegiatan sebelumnya dalam ruang kolaborasi praktik coaching dan praktik coaching
untuk kegiatan demonstrasi kontektual saya masih menyebut diri saya sebagai coach
atau coachee akan tetapi dalam elaborasi pemahaman saya mendapatkan
hal baru bahwa dalam prinsip kemitraan ketika kita masih menyebut coach atau
coachee masih terasa tidak
setara, sehingga perlu untuk memberikan suasana kesetaraan dengan atribut
panggilan yang setara seperti saling memanggil “kak”.
Ada tiga tahapan dalam coaching yaitu pra-observasi, observasi, dan pasca observasi.
Ketika kak Jacob
melakukan tahapan pasca-observasi pada saya di ruang gmeet elaborasi
materi saya sadar bahwa ada beberapa poin penting yang ternyata belum saya dan
teman sekelompok saya lakukan dalam kegiatan pasca observasi. Dalam praktik
demonstrasi kontekstual saya hanya terpaku pada pertanyaan-pertanyaan yang akan
masuk penilaian rubrik penilaian yang ada di LMS. Jadi saya dan teman-teman
kelompok hanya menanyakan pada teman yang berperan sebagai coach tentang
“menurutnya bagaimana praktik coaching tadi? Apakah sudah sesuai?”,
menyampaikan hasil observasi, lalu menanyakan “kompetensi apalagi yang ingin
dikembangkan.” Jadi setelah
elaborasi pemahaman, saya merasa lebih nyaman ketika observernya (Kak Jacob)
mengatakan “bolehkah saya menyampaikan hasil observasi saya?” ketika akan
emnyampaikan hasil observasinya. Itu terkesan lebih setara bagi saya. Dalam
penyampaian observasi pun ternyata seharusnya urutannya adalah dari ‘apa yang
sudah selaras dengan kompetensi yang ingin dikembangkan, apa yang melebihi
kompetensi, baru menyampaikan apa yang kurang.” Dalam menyampaikan kekurangan
pun observer harus menyertakan bukti yang jelas berdasarkan fakta ketika
observasi misalnya menyebutkan jam dan menitnya kemudian apa yang dikatakan
oleh coach. Hal-hal itulah yang nantinya akan saya praktikkan dalam kegiatan-kegiatan
coaching yang akan saya lakukan nanti.
Bagaimana peran Anda sebagai seorang coach di sekolah dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya di paket modul 2 yaitu pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi?
Sebagai seorang guru penggerak, peran saya sebagai seorang coach di sekolah adalah menemani rekan sejawat berbincang tentang permasalahan mereka sehingga benang-benang kusut yang ada dapat terurai. Berharap dengan peroses itu maka bersama-sama kami akan dapat mengembangkan keterampilan dalam mengajar dan meningkatkan pembelajaran di kelas maupun sekolah. Hal ini berkaitan dengan materi sebelumnya di paket modul 2, yaitu pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi, karena sebagai seorang coach, dengan kegiatan coaching untuk supervisi akademik saya berharap dapat dapat membantu memaksimalkan potensi-potensi rekan sejawat di sekolah. Dengan memaksimalkan potensi yang ada maka diharapkan kami dapat menerapkan strategi pembelajaran yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan murid yang beragam, serta membantu rekan sejawat dalam membangun lingkungan kelas yang inklusif dan memperhatikan aspek sosial dan emosi murid. Hal ini akan membantu murid untuk merasa lebih nyaman dan terlibat dalam proses pembelajaran, sehingga mereka dapat belajar dengan lebih efektif.
Selain itu, saya
juga dapat membantu rekan sejawat dalam mengidentifikasi kebutuhan murid yang
berbeda dan memberikan saran untuk mengatasi tantangan pembelajaran yang mereka
hadapi.
Selain membantu rekan sejawat, saya juga dapat menjadi coach bagi murid. Saya dapat membantu murid untuk mencapai tujuan mereka. Dalam kegiatan coaching saya dapat membantu dalam mengembangkan keterampilan sosial dan emosional mereka, seperti pengaturan emosi, kerja sama, dan komunikasi. Dengan begitu diharapkan saya dapat membantu murid untuk meraih potensi akademik dan pribadi mereka secara penuh.
Keterampilan coaching
yang diperlukan termasuk mendengarkan dengan aktif, memberikan umpan balik yang
konstruktif, dan membantu rekan dalam merencanakan dan melaksanakan tindakan
perbaikan. Semua keterampilan ini sangat penting dalam membantu rekan sejawat
dalam meningkatkan keterampilan mengajar dan meningkatkan hasil pembelajaran murid.
Selain itu, sebagai seorang coach, saya dapat memfasilitasi diskusi reflektif
dan kolaboratif di antara rekan sejawat untuk meningkatkan keterampilan mereka
dalam mengajar.
Bagaimana keterkaitan keterampilan coaching dengan pengembangan kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran?
Keterampilan coaching sangat terkait dengan pengembangan kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran. Dalam praktiknya seorang pemimpin pembelajaran yang baik harus mampu menjadi seorang coach yang efektif dalam membantu rekan sejawat dan murid untuk mencapai tujuan pembelajaran mereka.
Keterampilan coaching yang dapat membantu seorang pemimpin pembelajaran dalam pengembangan kompetensi meliputi kemampuan mendengarkan aktif, memberikan umpan balik yang efektif, mengajukan pertanyaan yang tepat, dan memotivasi serta memberikan dukungan kepada rekan sejawat dan murid. Dengan memiliki kemampuan-kemampuan tersebut, seorang pemimpin pembelajaran dapat memahami kebutuhan dan harapan dari rekan dan murid, memberikan bimbingan dan dukungan yang tepat, serta membantu mereka mencapai tujuan pembelajaran.
Dengan mengembangkan
keterampilan coaching, seorang pemimpin pembelajaran dapat membantu rekan
sejawat untuk meningkatkan kinerja mereka dan mencapai tujuan pembelajaran yang
diinginkan. Selain itu, seorang pemimpin pembelajaran yang efektif juga dapat
menciptakan budaya kerja yang positif dan mendukung untuk guru dan staf
pendidikan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas
mereka.