Monday, January 14, 2019

Siswa Gen Z dan Guru Gen Y dan X di sekolah

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Selamat sore
Semester baru sudah mulai aktif sejak senin kemarin. Harapannya sih semester baru semangat baru. Sebagai guru dan wali kelas saya berharap anak didik saya yang imut dan lucu itu bersikap lebih baik.
Tapi yang namanya harapan kadang jadi kenyataan kadang tidak. Sebagian memang tetap bersikap baik as usual, sebagian yang bersikap "semau gue" as usual juga. Baru beberapa hari masuk sekolah, ngecek daftar hadir siswa, gurunya sudah sakit mata. Itu banyak banget "A", kalau nilai maka banyak C. Dan surprise-nya adalah ketika ditanya "kenapa kemarin nggak masuk nak?" Jawabannya luar biasa "mengelandau bu." (Bangun siang bu.)
Sedih kan? Saya gurunya sedih juga. Masak sekolah sebercanda itu? Setidakbertanggungjawab itukah anak umur 17 tahun-an?

Kalau anda pernah membaca tentang teori generasi, dalam teori generasi (Generation Theory) yang dikemukakan Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall, Penguin, (2004) generasu dibedakan menjadi 5 berdasarkan tahun kelahirannya, yaitu: 
1. Generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964; 
2. Generasi X, lahir 1965-1980; 
3. Generasi Y, lahir 1981-1994, sering disebut generasi millennial;
4. Generasi Z, lahir 1995-2010 (disebut juga iGeneration, GenerasiNet, Generasi Internet); 
5. Generasi Alpha, lahir 2011-2025. 
Masing-masing generasi tentu berbeda tumbuh kembangnya.

Dari teori tersebut, mayoritas anak didik di sekolah saya masuk Gen Z dan guru-gurunya gen X dan Y. Lalu masalahnya apa? 
Berdasarkan teori tersebut disimpulkan bahwa tahun-tahun ketika gen X ini lahir merupakan awal dari penggunaan PC (personal computer), video games, tv kabel, dan internet. Penyimpanan data nya pun menggunakan floopy disk atau disket. MTV dan video games sangat digemari masa ini. Sedangkan gen Y yang dikenal dengan generasi millenial banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email, SMS, instan messaging dan media sosial seperti facebook dan twitter. Tanggung jawab mereka masih cukup besar untuk hal-hal mendasar dalam hidup. 

Disisi lain, gen Z yang kerennya disebut iGeneration sejak kecil mereka sudah mengenal teknologi dan akrab dengan gadget canggih yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kepribadian mereka. Mereka mampu melakukan berbagai hal yang berhubungan dengan dunia maya dalam satu waktu. Ibarat kata no gadget and internet no life. 

😢😢😢

Banyak siswa disini yang lebih rela beli paket internet daripada beli buku. Masalah? Iya. Kalau internetnya dipakai untuk menunjang belajar sih oke aja. Tapi mereka lebih aktif dengan sosmed dan hal-hal receh lain. Di sekolah tempat saya mengabdi, sering kejadian HP siswa disita guru. Kenapa? Jelas dong alasannya, mereka menggunakan HP itu untuk sesuatu diluar pelajaran di waktu yang salah.  Padahal jika kita mengikuti perkembangan dunia teknologi informasi, gadget bisa digunakan sebagai sarana untuk menciptakan suasana belajar mengajar yang inovatif sekaligus menyenangkan. Jika siswa menggunakannya untuk tujuan belajar, mereka bisa mendapatkan informasi dari berbagai sumber daripada cuma sekedar mendapatkan apa yang diberikan oleh guru di kelas. Kuncinya apa? Menurut saya sih nggak gaptek dan mau membaca. 

Sebagai siswa apalagi sudah jenjang sekolah menengah atas atau kejuruan, harusnya taunya nggak cuma main sosmed dong. Jangan sampai sosmed nya aktif tp sama sekali nggak tau domain-domain sumber belajar online. Belajar bahasa Inggris misalnya, gurunya kan bukan native speaker ya jadi untuk lebih mendalami Bahasa Inggris dari native speaker para siswa bisa lihat-lihat di engvid.com, british council, american english, dll. Kalau tidak paham kan bisa munculkan subtitle-nya. Tapi itu tidak akan mudah kalau tidak ada motivasi dari siswa itu sendiri. Hal lain adalah, jika belajar Bahasa Inggris mau tidak mau mereka butuh kamus. Sebenarnya sekarang bisa akses kamua online atau instal kamus offline di HP nya tapi banyak yang memilih nggak memilih dua-duanya (kan HP siswa ini bagus-bagus yaa...tapi kenyataannya kalau disuruh beli buki atau fotocopy bilangnya nggak punya uang...sedih kah?). Banyak siswa yang memilih tidak bawa kamus cetak dan kamus di HP nggak ada juga. Greget kan ngajar Bahasa Inggris disini? 

Pengaruh lainnya adalah, siswa iGeneration ini sering acuh. Bukan cuma acuh pada tugas dan kuwajibannya tapi juga pada lingkungannya. Mereka rela main online game sampai tengah malah bahkan sampai nggak tidur. Demi apa? Demi "range". Rela tidak mengerjakan tugas-tugas sekolah. Demi apa? Demi samadengan temennya yang main game. Supaya apa? Supaya dibilang keren juga. 

Lalu apakah semua peserta didiknya begitu? Tidak. Yang tidak ini jadi penghiburan bagi para guru disini. Paling tidak diantara 36 siswa dikelas adalah dua sampai lima orang yang bisa dibilang good student. Gurunya yang sekolah lebih dulu dengan kurikulum yang berbeda, masih selalu berharap bahwa apapun kurikulum yang diterapkan, sikap dan karakter siswa adalah hal yang utama. 

Bagaimana jika tidak? Kadang, bapak/ibu guru sesekali ngomel di kelas boleh dong. Kenapa? Karena gurunya peduli. 

Teknologi informasi boleh maju, tapi sikap dan karater kita harus tetap pada hakikatnya. Manusia. Beda generasi wajar, tapi apapun generasinya, sikap yang baik tidak boleh hilang dari kita, manusia.


- Dari ibu guru Bahasa Inggris yang hari ini ijin tidak masuk sekolah karena suatu urusan -




No comments:

Post a Comment